2010

Dinda Julia
8 min readMay 4, 2021

--

Hari yang cerah dan dingin di bulan November. Bunyi jam dinding terdengar lebih cepat ketika sudah mendekati pukul 7 pagi. Tembok tipis apartemen tidak meredam kegaduhan penduduk setempat yang mempersiapkan dirinya untuk bekerja, bersekolah, atau menyiapkan sarapan. Namun, suara-suara tersebut bagaikan melodi pagi hari menurut Elliot Saputra. Dengan menghabiskan waktunya tumbuh seorang diri tanpa orang tua, hal tersebut bagaikan anugerah untuk dirinya.

Kedua orang tuanya telah diculik tahun 1998, seusai mengikuti demonstrasi untuk menurunkan Pemerintahan Tuan Agung. Semenjak kepergian kedua orang tuanya, Elliot hidup mandiri sejak umur 15 tahun. Kini, di tahun 2010, ia telah berumur 27 tahun. Karena hidup seorang diri, Elliot memilih untuk tinggal di apartemen yang kecil. Dipilihnya tempat tersebut, karena ia berpikir bahwa dirinya harus senantiasa berhemat. Terutama di kondisi saat ini, di mana krisis ekonomi yang semakin parah.

Pada pukul 7 pagi, Elliot bergegas menuruni anak tangga. Pada anak tangga terakhir, dirinya dihadapi dengan poster besar dengan kalimat “Kemenangan di tangan Pemerintahan Tuan Agung”. Dilihatnya wajah seorang pemimpin yang sudah menjabat hampir 40 tahun dengan latar belakang istana yang megah. Niat untuk membakar poster tersebut selalu hadir ketika melihatnya.

Elliot melanjutkan perjalanannya menuju kantor, yakni di Kementerian Informasi. Kota Jaya bukan merupakan kota yang besar. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk pergi ke kantor dengan berjalan kaki. Waktu yang ditempuh umumnya hanya 15 menit. Sesampainya di ruangan kerja, ia tidak menyapa rekan-rekannya di Departemen Penerangan. Aktivitas tersebut sangat dilarang. Pemerintahan Tuan Agung senantiasa mengawasi melalui kamera pengawas di berbagai tempat, bahkan tempat yang tersembunyi. Kegiatan berbicara sangat dibatasi. Hal itu untuk menghindari adanya pendapat yang menjatuhkan Pemerintahan Tuan Agung.

Departemen Penerangan bertugas untuk memanipulasi artikel, berita, serta sejarah kelam Pemerintahan Tuan Agung. Hari itu, Elliot diberikan tugas untuk mengubah sejarah pemberontakan tahun 1998. Berkas yang ditugaskan telah tersedia di komputernya. Tentu pemerintahan ini memiliki komputer, namun keberadaannya sangat terbatas. Berkas-berkas yang diberikan selalu diakhiri dengan kalimat “Kemenangan di tangan Pemerintahan Tuang Agung”. Sungguh muak Elliot dibuatnya. Penugasan kali ini, menurut Elliot sangat berat. “Apa-apaan ini, sungguh kejam dan keji” gumamnya sangat kecil.

Rasa amarah dan kebenciannya sungguh tidak tertahankan. Peristiwa tersebut sungguh mengingatkan dirinya terhadap kenangan terakhir bersama kedua orang tuanya. Pemerintahan Tuan Agung sangat mengandalkan manipulasi sejarah. Mereka terobsesi untuk menguasai seluruh generasi dan memiliki paras tanpa cela yang wajib dijadikan panutan. Obsesi tersebut hadir karena mereka memiliki ideologi “Siapa yang mengontrol masa lalu, mengontrol masa depan. Siapa yang mengontrol masa kini, mengontrol masa lalu”.

Ia melanjutkan pekerjaannya, dengan membaca secara seksama dan merubah hampir seluruh isi sejarah tersebut. Tentunya, Elliot menemukan nama kedua orang tuanya sebagai korban penculikan. Namun, ia harus menghapus itu semua. Seolah-olah penculikan yang terjadi 12 tahun lalu, tidak pernah terjadi. Elliot tidak memiliki daya apapun untuk melawan, selain tunduk dengan peraturan yang terpaku tajam. Setelah selesai mengerjakan tugas tersebut, Elliot menyimpan data pada berkas komputer dan meninggalkan ruangan itu.

Musim hujan di bulan November membuat angin menjadi sangat kencang, terutama pada pukul 6 sore. Elliot menelusuri jalan setapak menuju pasar ilegal. Tempat yang ia kunjungi, berlokasi cukup jauh dari kantornya dan senantiasa terlihat sepi. Karena pengunjung umumnya melewati beberapa jalan berbeda, demi keamanan masing-masing. Setelah sampai di pasar tersebut, Elliot pergi ke toko “Semua Ada”. Menurut Elliot, nama tersebut tidak begitu menarik. Namun, cukup mendeskripsikan toko tersebut.

Semenjak krisis ekonomi yang semakin parah dan tidak terkendali, ia harus mencari keju kesukaannya di tempat ini. Tanpa basa basi, diambilnya sekotak keju biru kesukaannya. Tanpa mencari kebutuhan lainnya, Elliot bergegas pergi ke kasir. “Pegawai pemerintahan? Berani sekali dirimu menggunakan seragam itu kesini” ucap sang kasir. Ia hanya terdiam dan berusaha menutupi kerah seragamnya dibawah jaket hitam yang digunakannya.

Setelah membayar, pada pukul 7 malam, Elliot pergi ke kafe terdekat untuk istirahat sejenak sembari minum kopi. Menurut dirinya, malam ini adalah momen yang tepat untuk bersantai sebelum pukul 10 malam, karena lampu di kota ini akan padam seluruhnya. Semenjak krisis ekonomi terjadi, hal ini telah dilakukan secara rutin. Dan sering membuat Elliot jengkel.

Saat sampai di kafe tersebut, dipesannya secangkir kopi hitam hangat dan ia duduk di meja nomor 5. Tanpa menunggu lama, seorang pramusaji membawakan kopi untuk dirinya. Rintik air mulai terdengar, pertanda hujan mulai turun. “Sangat sesuai kopi ini dengan suara hujan” ucap Elliot. Ia kembali teringat dengan kejadian pagi ini, di mana ia harus memanipulasi sejarah pemberontakan dan menghapus nama orang tuanya. Mengingat hal tersebut, membuat Elliot sedih dan marah di saat yang bersamaan.

Tanpa disadari, seorang laki-laki berpakaian panjang dan serba hitam, datang menghampiri mejanya dan memberikan secarik kertas dengan kalimat “Jatuhkan Tuan Agung”. Lelaki misterius itu tidak berkata sepatah kata dan pergi. Tidak hanya bertuliskan kalimat tersebut, tetapi terdapat alamat yang dapat Elliot kunjungi. Tanpa ragu, Elliot pergi ke tempat tersebut melawan hujan yang semakin deras. Saat sampai, tempat yang dituju bukan tempat sesungguhnya. Seseorang yang berdiri di bayangan menghampirinya dan memberikannya secarik kertas lainnya yang juga berisikan alamat suatu tempat. Lokasi yang dituju semakin jauh dan ia menemukan bangunan tua. Dengan pemeriksaan ketat, ia masuk ke gedung tersebut. Diarahkan dirinya ke sebuah aula besar di bawah tanah yang sangat pengap dan berdebu.

Mereka memperkenalkan diri satu persatu dan ketika Elliot mendapatkan giliran. “Silakan! Lelaki yang menggunakan jaket hitam untuk memperkenalkan diri, cukup nama saja, dan tidak masalah jika itu bukan nama asli mu” ucap seorang wanita bernama Charlotte. “Namaku Elliot”, ucap Elliot dengan sadar. Tentu keputusan itu tidak ceroboh, ia ingin dikenal berdasarkan nama aslinya.

Kegiatan diskusi dimulai, diawali dengan pemaparan strategi dari Charlotte. Kemudian, saran dan masukan lainnya diberikan pihak-pihak yang hadir. Perseteruan karena adanya perbedaan pendapat tidak mampu dihindarkan. Elliot hanya terdiam dan Charlotte pun memberikan pertanyaan pada dirinya. “Apakah menurutmu pendapat dari saudara kita tadi sudah tepat, Elliot?” tanya Charlotte dengan suaranya yang cukup berat untuk seorang wanita. “Tidak” Elliot menjawab singkat. “Mengapa? Berikan kami alasan dan solusinya Elliot“ ucap Charlotte. “Menurutku, dengan mengajak seseorang dalam komunitas ini dengan menggunakan secarik kertas yang dibawakan oleh laki-laki misterius bukanlah hal yang tepat. Kalian menghabiskan waktu untuk mengawasi target terlebih dahulu, sebelum memutuskan memberikannya akses untuk mengikuti komunitas ini. Ada baiknya, jika kita mengajak orang disekitar yang mampu dipercayai” jelas Elliot. “Bagaimana jika mereka tidak ingin bergabung karena takut Elliot?” Tanya Charlotte. “Aku akan memberikanmu informasi yang kalian butuhkan untuk merubah pemikiran mereka. Sehingga, mereka akan setuju dan tergerak hatinya untuk menggulingkan Pemerintahan Tanah Agung” ucap Elliot. “Bravo! Ide yang bagus Elliot. Informasi apa yang akan kamu berikan kepada kami?“ “Informasi yang sungguh membuatmu terkejut, aku mampu memberikan ragam informasi yang hanya diketahui oleh pegawai pemerintahan”. Tentu saja, seisi ruangan tersebut sudah mengetahui siapa Elliot sebenarnya. Namun, mereka senantiasa harus mempertanyakan hal secara mendetail. “Baik, terima kasih Elliot. Kamu bisa memberikanku setidaknya satu informasi untuk pertemuan besok malam” ucap Charlotte dan Elliot pun mengangguk menyimbolkan persetujuan.

Keesokan harinya, Elliot kembali untuk memberikan informasi yang mereka butuhkan. Begitupun dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang tidak pernah ia tinggalkan sekalipun. Awalnya, Elliot berpikir bahwa dengan menjadi bagian dari komunitas ini merupakan keputusan yang bodoh dan dilakukan secara impulsif. Namun, sekarang dirinya merasakan banyak kesamaan dan berpikir bahwa komunitas ini mampu menjadi penyalur amarah kepada Pemerintahan Tuan Agung. Setelah mengadakan pertemuan selama beberapa minggu, Charlotte bertanya kepada Elliote “Apakah kamu mau berdiskusi dengan ku akhir pekan ini?” “Tentu, kita selalu melakukan pertemuan ini setiap malam” “Tidak, hanya kita berdua, aku akan mengajakmu ke hutan” “Mengapa?” “Aku akan menunjukan tempat yang tenang untuk berpikir. Dan tempat itu sangat tepat untuk kita berdiskusi, jauh dari keramaian” “Baik, dimana hutan yang kamu maksud itu?”. Kemudian, Charlotte menjelaskan rute yang harus digunakan oleh Elliote secara terperinci. Mereka berjanji akan bertemu pukul 11 siang di hutan tersebut.

Hari yang ditunggu telah tiba. Tentu Elliot tidak bekerja di akhir pekan, sehingga pertemuan tersebut dapat dilakukan siang hari. Ia menggunakan rute yang telah dijelaskan Charlotte beberapa hari lalu. Keputusan ini diambil agar tidak ada yang mengikuti mereka, terutama polisi Pemerintahan Tuan Agung. Selama hampir 1 jam perjalanan, Elliot pun sampai di hutan yang dituju.

Saat memasuki hutan tersebut, ia merasakan adanya kehadiran orang lain. Elliot berjalan sambil menunduk dan memperhatikan sekitarnya. Tidak lama, ia mendengar suara langkah kaki yang menyeret daun-daun kering di belakangnya. Rasa takut menjalar tak tertahankan. Dengan keberanian yang dimiliki, Elliot pun menoleh ke belakang. Dan ternyata ia menemukan Charlotte yang berjalan dengan santai di belakangnya. “Bagaimana kamu bisa menemukan ku disini? Padahal hutan ini sangat luas” “Elliote, hutan ini tempat kesukaanku. Aku pun mengarahkanmu untuk ke tempat ini. Jadi, aku tahu jalan mana yang akan kamu gunakan untuk memasuki hutan” “Kau sangat memahami hutan ini?” “Tentu Elliot. Tenang. Ikuti aku”.

Siang itu, cahaya matahari seperti terpantulkan berlian, indah dan menakjubkan. “Kemari!” ajak Charlotte. Mereka duduk di sebuah lapangan terbuka yang tidak disangka hadir di tengah hutan. “Baik, aku akan memulai diskusi kita. Pemberontakan akan kita lakukan minggu depan, apakah menurutmu kita semua sudah siap Elliot?” “Tentu Charlotte, kita sudah mengadakan pertemuan cukup lama” “Apakah kamu menemukan kecacatan yang mungkin akan kita hadapi?” “Sejauh ini tidak, mungkin jika kita tidak diculik sebelum pelaksanaan pemberontakan itu” “Apakah kamu sedang bergurau? Tentu saja tidak akan terjadi. Komunitas kita sangat rahasia Elliot!” tegas Charlotte.

Tanpa mereka ketahui, polisi Pemerintahan Tuan Agung telah mengetahui seluruh rencana mereka. Polisi tersebut bergegas untuk membentuk formasi dengan melingkari mereka tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Hutan yang Elliot dan Charlotte kunjungi memang lebat dengan daun yang rimbun. Jadi, kehadiran polisi tidak akan mudah untuk mereka ketahui. Dengan menggunakan peralatan dan persenjataan yang lengkap. Polisi memutuskan untuk menyergap mereka.

Peristiwa ini membuat Elliot dan Charlotte terkejut bukan main. Polisi memerintahkan mereka untuk berlutut dan mengangkat tangan mereka. Tanpa ragu, polisi menarik rambut Charlotte dan menyeretnya menjauhi Elliot. Polisi mengarahkan senjata api pada Elliot dan menginterogasinya “Siapa namamu?!” “Elliot Saputra” “Apakah kamu bagian dari komunitas yang akan menggulingkan Pemerintahan Tuan Agung?!” “Tidak” “Jawab dengan jujur” “Tidak!” jawab Elliot lantang. Salah satu polisi memukulnya dengan senjata api di area kepala, yang menyebabkan kepala Elliot berdarah. “Sekali lagi, ku ulangi pertanyaanku. Apakah kamu bagian dari komunitas yang akan menggulingkan Pemerintahan Tuan Agung?!” “Tidak!”. Polisi tersebut kembali memukul Elliot dengan senjata api dan bunyinya semakin keras. Kejadian ini berlangsung beberapa kali, karena Elliot yang terus mengelak.

Di waktu yang bersamaan, Charlotte tidak tinggal diam. Ia memukul salah satu polisi yang mengawasinya dan berusaha lari untuk menyelamatkan Elliot. Namun, ketika Charlotte berhasil lari. Salah satu polisi, tanpa ragu menembak ke arahnya, tepat di kepala. Ia pun tergeletak dalam hitungan detik dan berlumur darah. Menyaksikan kematiannya, hal itu membuat Elliot merasa terpukul dan memutuskan untuk merebut senjata polisi yang diarahkan kepada dirinya. Namun, saat ia berusaha melawan polisi. Salah satu senjata api telah mengeluarkan suara dan peluru tersebut menusuk ke dada Elliot. Elliot pun tidak sadarkan diri.

“Pak, mohon bangun. Kafe ini akan segera ditutup” ucap seorang pramusaji. Elliot dibangunkan oleh pramusaji kafe tersebut, ternyata ia tertidur karena kelelahan bekerja hari ini. Secarik kertas dengan tulisan “Jatuhkan Tuan Agung” menempel di wajahnya. Ia kaget dan langsung memandang sekitar. Peristiwa yang ia mimpikan sangatlah kejam dan terasa sangat nyata. Dadanya sakit seperti benar-benar tertembak peluru. Pramusaji di kafe tersebut telah menyelamatkan nyawanya, dengan membangunkan dirinya dari mimpi buruk tersebut. ”Terima kasih” ucap Elliot.

Waktu telah menunjukan pukul 10 malam, Elliot segera bergegas untuk pulang karena seluruh lampu di kota sudah dipadamkan. Ia masih merasakan kebencian dan amarah yang membara. Namun, dengan mengikuti komunitas tersebut untuk menyalurkan emosinya merupakan hal yang sangat berisiko. Dan tanpa ragu peristiwa yang terjadi di mimpinya, akan terjadi di dunia nyata. Elliot memutuskan untuk membuang kertas tersebut dan terus berjalan kaki. Malam itu sangat gelap, penglihatannya hanya dibantu dengan cahaya redup bulan dan lampu yang sangat terang dari Istana Pemerintahan Tuan Agung. Ia pun kembali ke apartemen kecilnya.

--

--